Hari Dunia

Hari Paus Internasional: Kisah Penyesalan & Penyelamatan

Fajar - Tuesday, 02 December 2025 | 03:00 PM

Background
Hari Paus Internasional: Kisah Penyesalan & Penyelamatan

Gudnus - Pernah nggak sih kita membayangkan lautan tanpa kehadiran para raksasa yang satu ini? Ikan paus. Makhluk agung nan memesona, dengan lagu-lagu bawah laut mereka yang bikin hati adem, dan kemampuan berenang melintasi samudra yang nggak ada lawan. Mereka adalah simbol keperkasaan sekaligus kelembutan alam. Tapi, ada satu masa dalam sejarah, kehadiran mereka di lautan sempat berada di ujung tanduk. Populasinya nyaris ludes, diburu habis-habisan sampai kita, umat manusia, harus putar otak untuk menyelamatkan mereka. Nah, di sinilah kisah tentang Hari Konvensi Ikan Paus Internasional bermula, sebuah cerita tentang ambisi manusia, penyesalan, dan upaya penyelamatan yang nggak kaleng-kaleng.

Mari kita tarik mundur sedikit ke belakang, ke abad ke-17, bahkan jauh sebelum itu. Perburuan paus itu sejatinya sudah ada sejak ribuan tahun lalu, tapi skalanya masih lokal dan nggak terlalu masif. Masyarakat adat di berbagai belahan dunia memburu paus untuk kebutuhan subsisten, kayak makanan, minyak, atau tulang belulang. Tapi, di era industrialisasi, semua berubah total. Minyak paus jadi primadona, digunakan buat penerangan, pelumas mesin, sampai bahan kosmetik. Dagingnya? Jadi sumber protein yang murah meriah. Tulangnya? Bikin korset, payung, dan banyak lagi.

Teknologi perburuan paus pun ikut berkembang pesat. Dari perahu dayung dan tombak tangan, kita masuk ke era kapal uap super cepat, harpoon gun yang bisa menembakkan tombak meledak, sampai akhirnya muncul kapal pabrik raksasa yang bisa memproses bangkai paus di tengah laut. Gila, kan? Ini bikin para paus nggak punya tempat sembunyi lagi. Mereka diburu tanpa ampun, dari samudra Atlantik, Pasifik, sampai ke kutub yang dinginnya menusuk tulang. Populasi paus bungkuk, paus biru, paus sperma, dan banyak spesies lainnya rontok drastis. Dari jutaan ekor, dalam beberapa dekade, angkanya cuma tinggal secuil. Jujur, kalau membayangkan betapa masifnya perburuan itu, rasanya kok ya bikin geleng-geleng kepala.

Para ilmuwan dan aktivis lingkungan mulai angkat bicara. Mereka melihat kehancuran di depan mata. Bukan cuma soal angka, tapi juga soal ekosistem. Kalau paus hilang, apa kabar dengan rantai makanan di laut? Apa kabar dengan kesehatan samudra? Kekhawatiran ini makin memuncak di pertengahan abad ke-20. Terlalu banyak paus yang mati, dan terlalu sedikit yang tersisa untuk bisa bereproduksi dan memulihkan populasi mereka.

Lahirnya Harapan: Konvensi Internasional untuk Regulasi Perburuan Paus (ICRW)

Dari kegelapan inilah, secercah harapan muncul. Pada tahun 1946, setelah Perang Dunia II, sejumlah negara yang dulunya aktif banget dalam perburuan paus atau punya kepentingan dalam industri tersebut, akhirnya duduk bareng. Mereka adalah perwakilan dari berbagai negara adidaya maritim waktu itu. Mereka berkumpul di Washington, D.C., Amerika Serikat, dan menghasilkan sebuah kesepakatan monumental: Konvensi Internasional untuk Regulasi Perburuan Paus (International Convention for the Regulation of Whaling – ICRW). Jujur aja, nama ini agak panjang dan kaku, tapi semangat di baliknya itu yang penting.

Tujuan utama ICRW ini, lucunya, pada awalnya bukan untuk menghentikan perburuan paus sepenuhnya, melainkan untuk "menyediakan konservasi stok paus yang tepat dan memungkinkan perkembangan teratur industri perburuan paus." Jadi, intinya mereka mau supaya perburuan itu bisa "berkelanjutan." Mereka sadar kalau terus-terusan ngebantai tanpa perhitungan, ya ujung-ujungnya nggak ada yang tersisa. Dari konvensi ini, lahirlah sebuah badan yang kita kenal sampai sekarang: Komisi Perburuan Paus Internasional (International Whaling Commission – IWC).

IWC ini tugasnya adalah mengimplementasikan ketentuan ICRW, termasuk menetapkan kuota penangkapan, ukuran minimum paus yang boleh ditangkap, sampai area-area perlindungan. Tapi, perjalanan IWC ini nggak mulus-mulus amat, lho. Ada drama, ada tarik ulur kepentingan, dan perdebatan sengit yang nggak ada habisnya. Negara-negara pemburu paus versus negara-negara pro-konservasi, kayak film action aja kadang-kadang. Selama beberapa dekade, meskipun ada IWC, angka perburuan paus masih tinggi. Kepentingan ekonomi seringkali mengalahkan kepentingan konservasi. Para aktivis lingkungan seperti Greenpeace, Sea Shepherd, dan World Wildlife Fund (WWF) terus-menerus menyuarakan desakan untuk perlindungan total, melakukan aksi-aksi heroik yang bikin baper, bahkan sampai berhadapan langsung dengan kapal-kapal pemburu paus di tengah samudra.

Titik Balik yang Dinanti: Moratorium Perburuan Paus Komersial

Perjuangan panjang itu akhirnya membuahkan hasil yang manis, bahkan bisa dibilang legendaris. Pada tahun 1982, dalam pertemuan IWC yang ke-34 di Brighton, Inggris, setelah bertahun-tahun perdebatan sengit dan lobi-lobi yang intens, sebuah keputusan bersejarah diambil: Moratorium atas Perburuan Paus Komersial (Moratorium on Commercial Whaling). Moratorium ini secara efektif melarang semua bentuk perburuan paus untuk tujuan komersial. Keputusan ini mulai berlaku pada musim perburuan tahun 1985/1986. Momen ini adalah puncaknya, sebuah kemenangan besar bagi gerakan konservasi global!

Nah, momen diberlakukannya moratorium pada 1986 inilah yang kemudian sering disebut atau diperingati sebagai semangat dari "Hari Konvensi Ikan Paus Internasional." Ini bukan tentang satu tanggal kalender spesifik seperti Hari Kemerdekaan, melainkan lebih ke peringatan akan peristiwa penting, sebuah titik balik di mana dunia secara kolektif memutuskan untuk bilang, "Cukup!" kepada perburuan paus yang nggak terkendali.

Keputusan moratorium ini bukannya tanpa perlawanan. Beberapa negara, seperti Jepang, Norwegia, dan Islandia, menolak keras moratorium ini. Mereka berargumen bahwa perburuan paus adalah bagian dari budaya dan mata pencarian tradisional mereka, atau mereka bahkan melanjutkan perburuan dengan dalih "riset ilmiah." Meskipun demikian, moratorium ini terbukti menjadi tembok yang cukup kokoh dan berhasil menyelamatkan banyak spesies paus dari kepunahan.

Bagaimana Keadaan Sekarang dan Apa Urusan Kita?

Sejak moratorium diberlakukan, banyak populasi paus menunjukkan tanda-tanda pemulihan, meskipun prosesnya panjang dan masih banyak tantangannya. IWC sampai sekarang masih terus bekerja, meskipun perannya banyak bergeser dari "mengatur" menjadi "melindungi" paus. Mereka terus memantau populasi paus, meneliti ancaman baru, dan mendorong konservasi.

Tapi, ancaman bagi para raksasa laut ini nggak cuma berhenti di harpoon gun, lho. Kini, mereka menghadapi musuh-musuh baru yang nggak kalah mematikan: polusi plastik yang mencemari lautan, perubahan iklim yang mengganggu habitat dan sumber makanan mereka, kebisingan bawah laut dari kapal dan eksplorasi minyak yang bikin mereka mati gaya, sampai tabrakan dengan kapal-kapal besar. Jadi, meskipun kita sudah punya "Hari Konvensi Ikan Paus Internasional" dalam semangatnya, perjuangan untuk para paus ini belum usai.

Sebagai generasi muda, kita punya peran penting. Nggak harus jadi aktivis yang berhadapan langsung di laut, kok. Cukup dengan mengurangi penggunaan plastik, mendukung produk-produk berkelanjutan, peduli terhadap isu perubahan iklim, atau bahkan sekadar menyebarkan informasi tentang pentingnya menjaga laut dan isinya. Setiap tindakan kecil itu, kalau digabung, bisa menciptakan gelombang perubahan yang nggak ada obatnya. Karena pada akhirnya, laut dan semua makhluk di dalamnya itu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Mari kita terus menjaga warisan alam ini, agar generasi mendatang masih bisa menikmati pesona agung para raksasa laut yang bikin kagum.