Hari Dunia

1 Desember: Bukan Sekadar Pita Merah, Ini Kisah Nyata!

Fajar - Monday, 01 December 2025 | 02:40 PM

Background
1 Desember: Bukan Sekadar Pita Merah, Ini Kisah Nyata!

Gudnus - Setiap tanggal 1 Desember, dunia serentak mengenakan pita merah. Bukan untuk fashion statement semata, lho. Pita merah itu adalah simbol solidaritas, pengingat, dan juga harapan. Yup, tanggal itu diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia. Mungkin sebagian dari kita cuma lewat begitu saja, posting di medsos seadanya, lalu lanjut scroll TikTok. Tapi, di balik satu hari peringatan itu, ada cerita panjang, perjuangan tak kenal lelah, dan PR besar yang masih menanti untuk kita garap bersama.

Kalau kita bicara soal AIDS, mungkin generasi 80-an atau 90-an awal akan langsung teringat pada masa-masa penuh ketakutan. Dulu, AIDS itu momok, vonis mati yang bikin bulu kuduk berdiri. Informasi yang minim, plus stigma yang melilit, membuat penderitanya seolah-olah dikucilkan dari peradaban. Ingat kan, bagaimana rumor aneh-aneh bertebaran? Dari mulai sekadar bersentuhan tangan saja bisa menular, sampai isu-isu mistis yang bikin ngeri. Media massa zaman itu juga seringkali ikut-ikutan menjustifikasi, menjadikan HIV/AIDS sebagai "hukuman" bagi gaya hidup tertentu. Rasanya miris, ya, kalau diingat-ingat.

Untungnya, zaman berputar, pengetahuan berkembang. Para ilmuwan di seluruh dunia tak putus asa putar otak. Dari kegelapan dan misteri itu, akhirnya cahaya mulai tampak. HIV, virus penyebab AIDS, berhasil diidentifikasi. Penemuan obat antiretroviral (ARV) menjadi titik balik yang revolusioner. Dulu, AIDS adalah death sentence; sekarang, dengan ARV yang rutin dan disiplin, orang dengan HIV (ODHIV) bisa hidup normal, beraktivitas, bahkan berkeluarga. ARV ini ibarat jubah pelindung yang bikin virus nggak bisa seenaknya berulah dan bahkan bisa sampai pada kondisi undetectable, alias tidak terdeteksi dalam darah. Dan yang paling penting, kalau sudah undetectable, maka virusnya tidak akan menular! Ini yang kita kenal dengan jargon U=U: Undetectable = Untransmittable. Sebuah terobosan yang mengubah segalanya, gaes!

Tapi, jangan salah sangka. Meski medis sudah maju pesat, perang melawan HIV/AIDS belum selesai. Musuh terbesar kita sekarang? Bukan lagi virusnya semata, tapi si "monster tak kasat mata" bernama stigma dan diskriminasi. Jujur saja, coba deh jujur sama diri sendiri, seberapa sering kita masih mendengar celetukan miring, tatapan aneh, atau bahkan penolakan terang-terangan terhadap ODHIV? Stigma ini ibarat borgol yang mengikat, membuat ODHIV takut untuk terbuka, takut mencari dukungan, bahkan takut untuk mengakses pengobatan. Banyak yang memilih diam, hidup dalam bayang-bayang, sampai akhirnya terlambat tertangani. Ini PR besar kita bersama.

Maka dari itu, Hari AIDS Sedunia bukan cuma soal mengenang, tapi lebih ke arah menggerakkan. Ini adalah momen untuk merefleksikan kembali. Apakah kita sudah cukup peduli? Apakah kita sudah cukup berempati? Atau jangan-jangan, tanpa sadar, kita termasuk bagian dari mereka yang justru ikut melanggengkan stigma itu? Peran kita sebagai individu, sebagai bagian dari masyarakat, itu penting banget. Mulai dari hal kecil, seperti mengedukasi diri sendiri dan orang-orang terdekat tentang fakta-fakta terbaru HIV/AIDS (ingat U=U!), sampai berani menyuarakan dukungan kepada ODHIV.

Komunitas dan aktivis HIV/AIDS adalah para pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka bekerja di garis depan, seringkali menghadapi cemoohan dan tantangan, hanya demi memastikan ODHIV mendapatkan hak-hak mereka. Mereka tak hanya bicara soal obat, tapi juga soal hak asasi, pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial yang layak. Mereka adalah bukti nyata bahwa harapan itu ada, selama kita mau terus berjuang bersama. Dari merekalah kita belajar tentang kekuatan resiliensi dan arti sebenarnya dari solidaritas.

Target global untuk mengakhiri epidemi AIDS pada tahun 2030 memang ambisius. Tapi bukan tidak mungkin, kok. Kuncinya ada pada tiga pilar utama: pencegahan, pengobatan, dan penghapusan stigma. Pencegahan bukan cuma soal kondom, lho. Ada juga PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), pil yang diminum sebelum terpapar virus untuk mencegah infeksi. Ini inovasi yang luar biasa! Pengobatan, ya tentu saja ARV yang harus diminum rutin. Dan yang paling krusial, penghapusan stigma. Karena percuma ada obat canggih, kalau ODHIV takut berobat karena takut dihakimi. Percuma ada PrEP, kalau orang-orang enggan mencari informasi karena tabu.

Jadi, di Hari AIDS Sedunia ini, mari kita bukan cuma pakai pita merah sebagai lips service. Mari kita jadikan ini sebagai pengingat untuk terus beraksi. Edukasi diri, sebarkan informasi yang benar, berikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan, dan yang terpenting, jadilah agen perubahan untuk menghapus stigma. Ingat, HIV/AIDS bukan lagi vonis mati, tapi sebuah kondisi medis yang bisa dikelola. Kita semua punya peran untuk memastikan tidak ada lagi yang terkucilkan hanya karena status kesehatan mereka. Mari kita wujudkan dunia di mana AIDS bukan lagi momok, melainkan kisah perjuangan yang kita menangkan bersama. Gaspol!