News

Ternyata Nyata! Perbudakan Modern di Sekelilingmu

Fajar - Tuesday, 02 December 2025 | 04:30 PM

Background
Ternyata Nyata! Perbudakan Modern di Sekelilingmu

Gudnus - Dengar kata 'perbudakan', mungkin pikiran kita langsung melayang ke masa lalu, era kolonial, atau film-film sejarah yang menampilkan rantai dan cambuk. Jujur saja, saya juga gitu. Kita kan seringnya berpikir, 'Ah, itu kan sudah nggak ada lagi, kan dunia sudah maju dan beradab?'. Eits, tunggu dulu. Ternyata, hantu-hantu perbudakan itu masih gentayangan lho, bahkan di balik kemilau gedung-gedung pencakar langit dan layar *smartphone* kita. Cuma namanya saja yang lebih kekinian: perbudakan modern. Dan ini bukan omong kosong belaka, guys. Angkanya itu lho, bikin kita mikir keras dan jujur saja, sedikit ngeri.

Jadi, apa sih sebenarnya perbudakan modern itu? Intinya, ini adalah situasi di mana seseorang dieksploitasi dan tidak bisa menolak atau meninggalkan situasi tersebut karena ancaman, paksaan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan, ada sekitar 50 juta orang di seluruh dunia yang terjebak dalam kondisi ini. Lima puluh JUTA. Angka yang bikin kita geleng-geleng kepala, bukan? Itu lebih banyak dari populasi beberapa negara di Eropa lho. Dan ini bukan 'kejadian langka', tapi sudah jadi masalah global yang akut dan seringkali tak terlihat di permukaan.

Bentuknya juga nggak cuma satu macam kayak di film-film lama. Perbudakan modern itu punya banyak wajah, dan semuanya sama-sama mengerikan. Pertama, ada kerja paksa (forced labour). Ini bisa terjadi di pabrik garmen yang kita pakai bajunya, di kapal penangkap ikan yang produknya kita makan, di perkebunan yang hasil panennya sampai di meja makan kita, atau bahkan di rumah tangga sebagai asisten rumah tangga yang gajinya ditahan dan paspornya disita. Lalu, ada juga perbudakan utang (debt bondage), di mana seseorang dipaksa bekerja untuk melunasi utang yang kadang nggak logis atau sengaja dibuat terus membengkak agar mereka nggak bisa lepas. Nggak kalah miris, ada juga pernikahan paksa (forced marriage) – terutama banyak dialami perempuan dan anak-anak perempuan, yang dipaksa menikah dan kehilangan hak serta kebebasan mereka. Dan tentu saja, yang paling sering kita dengar mungkin adalah perdagangan manusia (human trafficking) dan eksploitasi seksual, di mana orang diperdagangkan seperti barang dagangan untuk tujuan yang bejat. Bentuknya nggak kaleng-kaleng, dan dampaknya hancur lebur.

Siapa sih korbannya? Jujur saja, siapa pun bisa jadi korban, tapi yang paling rentan biasanya mereka yang berada di posisi lemah. Migran yang sedang mencari hidup lebih baik di negeri orang, pengungsi yang kehilangan segalanya, anak-anak yang belum mengerti apa-apa, atau bahkan orang dewasa yang terimpit kemiskinan dan janji-janji manis. Rasanya kok ya, mereka yang seharusnya kita bantu malah jadi mangsa empuk para pelaku kejahatan ini. Penjual janji palsu tentang pekerjaan bagus, kehidupan yang layak, atau pendidikan gratis, seringkali ujungnya malah menjebak mereka dalam lingkaran setan perbudakan modern. Miris banget, kan?

Terus, kenapa sih hal ini masih bisa terjadi di zaman serba digital ini? Banyak faktornya, guys. Kemiskinan ekstrem jadi lahan subur yang bikin orang gelap mata. Orang rela melakukan apa saja demi sesuap nasi atau demi keluarganya. Konflik bersenjata dan ketidakstabilan politik juga bikin banyak orang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, jadi mereka gampang banget diiming-imingi harapan palsu. Korupsi dan lemahnya penegakan hukum juga jadi faktor penting. Para pelaku kejahatan ini seringkali bisa lolos begitu saja karena 'main mata' dengan oknum tertentu atau karena celah hukum yang ada. Dan jangan lupa, permintaan pasar untuk barang dan jasa murah juga ikut andil. Kita seringkali nggak sadar kalau di balik harga diskon gila-gilaan, ada cerita pilu eksploitasi manusia.

Jangan salah, ini bukan cuma masalah negara-negara berkembang. Perbudakan modern itu ada di mana-mana, dari sudut-sudut desa terpencil sampai ke jantung kota-kota metropolitan di negara maju. Rantai pasokan global (global supply chains) kita yang super kompleks ini seringkali jadi sarang empuk perbudakan modern. Bayangkan deh, baju yang kita pakai, kopi yang kita minum, cokelat yang kita nikmati, atau bahkan *gadget* yang kita pegang, bisa jadi diproduksi dengan 'darah dan keringat' para pekerja paksa yang kebebasannya dirampas. Ini bukan mau bikin kita parno atau jadi anti-konsumsi yang berlebihan, tapi setidaknya bikin kita lebih sadar dan bertanya, 'Dari mana sih ini asalnya? Siapa yang membuatnya?'

Salah satu hal yang bikin perbudakan modern ini sulit diberantas adalah sifatnya yang tersembunyi dan licik. Pelaku kejahatan ini cerdik, mereka tahu bagaimana menyamarkan praktik kotornya agar tidak terdeteksi. Korban seringkali diisolasi, diancam dengan kekerasan terhadap diri mereka atau keluarga, atau bahkan dicuci otaknya sehingga mereka merasa tidak punya pilihan lain selain bertahan. Mereka tidak bisa mengakses bantuan, tidak tahu hak-hak mereka, atau takut akan pembalasan jika mencoba kabur. Ini membuat deteksi dan intervensi jadi sangat menantang, butuh upaya kolektif dari berbagai pihak untuk membuka mata dunia dan menyingkap tabir gelap ini.

Terus, kita bisa apa? Jujur saja, sebagai individu, mungkin kita merasa kecil dan nggak berdaya di hadapan masalah sebesar ini. Tapi, nggak gitu juga kok. Pertama, sadar itu penting banget. Dengan tahu fakta-fakta ini, kita sudah selangkah lebih maju. Kita bisa mulai mendukung produk-produk yang jelas asal-usulnya dan punya sertifikasi fair trade atau etis. Kita bisa menyuarakan isu ini di lingkungan kita, di media sosial, biar makin banyak yang sadar dan tergerak. Kita bisa juga mendukung organisasi-organisasi yang memang fokus memerangi perbudakan modern ini, baik dengan donasi atau menjadi relawan. Mungkin terlihat sepele, tapi setiap tindakan kecil kita bisa jadi bagian dari gelombang perubahan yang besar. Ingat, kebebasan itu hak asasi manusia yang fundamental. Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang pantas dirampas kebebasannya dan hidup dalam belenggu, baik secara fisik maupun psikis. Yuk, jadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah yang tak disadari.