Info

Siap-siap! Ini Alasan Kemarau di Indonesia Dingin

Fajar - Sunday, 07 September 2025 | 08:00 AM

Background
Siap-siap! Ini Alasan Kemarau di Indonesia Dingin

Gudnus - Pagi-pagi buta, matahari belum nongol sempurna, tapi hawa dingin sudah nyesss sampai ke tulang. Rasanya kok berat banget ya ninggalin selimut kesayangan? Padahal, ini kan musim kemarau! Logikanya, kalau kemarau itu identik dengan panas menyengat, kering kerontang, dan haus yang tak tertahankan. Tapi kok, beberapa tahun belakangan ini, justru sensasinya malah kayak lagi di daerah pegunungan yang adem banget? Jangan-jangan, kamu juga ngerasain hal yang sama, kan? Tarik selimut lagi, atau langsung nyari kopi panas dan mie instan rebus? Nah, fenomena dinginnya musim kemarau di Indonesia ini memang sering jadi obrolan hangat, atau lebih tepatnya, obrolan dingin, di berbagai grup WhatsApp atau obrolan santai di warung kopi.

Bukan cuma di daerah dataran tinggi seperti Dieng, Bandung, atau Puncak saja yang merasakan gigilnya pagi di musim kemarau. Di beberapa kota besar, bahkan yang notabene dataran rendah sekalipun, udara dinginnya juga nggak kaleng-kaleng, loh. Kemeja lengan panjang dan jaket tipis yang biasanya cuma dipakai pas musim hujan atau bepergian, mendadak jadi busana wajib buat ngantor atau sekadar nongkrong sore. Kok bisa-bisanya, sih, musim kemarau yang seharusnya bikin gerah malah bikin kita auto tarik selimut lagi?

Kemarau Dingin: Sebuah Anomali atau Fenomena Tahunan?

Sebenarnya, fenomena suhu dingin di musim kemarau ini bukan anomali yang luar biasa dan bikin geleng-geleng kepala setiap tahun. Ini adalah siklus yang cukup wajar dan punya penjelasan ilmiahnya sendiri. Biang kerok utamanya ada pada apa yang dinamakan Angin Muson Timur atau Angin Muson Australia. Angin ini bertiup dari arah tenggara, yaitu dari Benua Australia, menuju ke wilayah Indonesia. Nah, karakteristik Angin Muson dari Australia ini adalah membawa massa udara yang kering dan dingin.

Bayangkan saja, Australia itu kan sebagian besar wilayahnya gurun dan daratan luas yang kering. Jadi, angin yang bertiup dari sana otomatis membawa sifat udara yang minim uap air. Udara yang kering ini punya kemampuan menyerap dan menahan panas yang jauh lebih rendah dibandingkan udara lembap. Ibaratnya, kalau udara lembap itu kayak pakai selimut tebal, udara kering ini cuma pakai kain tipis doang. Akibatnya, panas dari permukaan bumi yang diserap sepanjang hari, saat malam tiba, langsung dilepas begitu saja ke atmosfer tanpa ada yang menahan. Alhasil, suhu udara pun langsung anjlok drastis.

Ditambah lagi, di musim kemarau, langit cenderung cerah tanpa awan. Awan itu kan ibaratnya atap alami yang bisa memantulkan kembali panas bumi. Ketika awan nggak ada, panas yang terpancar dari bumi di malam hari langsung melayang bebas ke angkasa. Proses ini sering disebut sebagai pendinginan radiasi. Efeknya makin terasa di daerah dataran tinggi atau lembah, di mana udara dingin cenderung mengendap di lapisan bawah, menciptakan apa yang namanya inversi suhu. Inilah kenapa Dieng atau lereng gunung lainnya bisa sampai mengalami embun beku atau "embun upas" karena suhunya bisa menyentuh titik beku.

Ritual dan Gaya Hidup ala Kemarau Dingin

Fenomena kemarau dingin ini tentu saja membawa "ritual" dan gaya hidup tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Selain jaket dan selimut yang jadi primadona, aneka makanan dan minuman hangat juga naik daun. Dari kopi hitam pekat, teh jahe yang pedasnya bikin hangat sampai ke ulu hati, wedang ronde, sampai bakso kuah panas, soto, atau mi ayam yang mengepul, semuanya mendadak jadi daftar menu wajib. Sensasinya itu lho, menggigit cabai rawit pedas di tengah hawa dingin, surga dunia!

Bagi sebagian orang, hawa dingin ini bikin produktivitas menurun drastis, terutama di pagi hari. "Mager" atau malas gerak itu jadi kata kunci. Mau mandi rasanya perjuangan banget, apalagi kalau airnya dinginnya nggak kira-kira. Tapi di sisi lain, bagi para pekerja kantoran atau anak sekolah, hawa dingin yang sejuk ini justru bikin suasana belajar atau bekerja jadi lebih nyaman, nggak gampang ngantuk atau lepek karena gerah. Asal jangan ketiduran aja pas rapat online atau jam pelajaran, ya!

Di daerah Dieng, Jawa Tengah, embun upas adalah daya tarik sekaligus tantangan. Bagi wisatawan, pemandangan padang rumput yang diselimuti salju tipis (padahal embun beku) adalah pemandangan eksotis yang langka. Tapi bagi petani kentang, embun upas bisa jadi momok karena merusak tanaman mereka. Ini menunjukkan bahwa setiap fenomena alam selalu punya dua sisi mata uang: keindahan di satu sisi, dan perjuangan di sisi lainnya.

Bukan Winter, Tapi Ada Rasa-Rasanya…

Mungkin ada yang nyeletuk, "Wah, Indonesia jadi punya winter dadakan nih!" Eits, jangan salah sangka. Ini tetaplah musim kemarau, hanya saja dengan suhu yang lebih rendah dari biasanya. Kita nggak punya empat musim seperti negara di lintang tengah, kok. Tapi, sensasi udara yang bersih, kering, dan dingin di pagi hari ini memang bikin nagih. Langit biru yang cerah tanpa polusi udara, pemandangan gunung yang terlihat jelas tanpa kabut, itu adalah bonus yang patut disyukuri di tengah gigilnya udara.

Fenomena ini mengingatkan kita bahwa iklim di Indonesia, meskipun tropis, tetap punya dinamika dan kejutannya sendiri. Tidak melulu panas terik atau hujan lebat yang bikin banjir, tapi juga bisa sejuk dan dingin yang bikin kita betah berlama-lama di balik selimut. Jadi, kalau besok pagi kamu terbangun dengan hidung dingin dan keinginan kuat buat tarik selimut lagi, jangan kaget. Itu bukan anomali, tapi bagian dari keunikan musim kemarau di tanah air kita yang tercinta ini. Siapkan saja jaket terbaikmu, seduh jahe hangat, dan nikmati sensasi kemarau dingin yang kadang bikin mager, tapi juga bikin kangen.