“Indonesia Menuju Dekade Terpanas: Kenapa Kota-Kota Kita Jadi ‘Kompor Raksasa’?”
feshdy_hippro - Thursday, 16 October 2025 | 02:26 AM


Kalau kamu merasa siang hari terasa lebih panas, bahkan keringat sudah muncul sebelum sampai ke kantor, kamu nggak salah. Ini bukan hanya perasaan, tapi fakta. Suhu udara di banyak kota besar Indonesia memang sedang naik tinggi-tinggi, bahkan mendekati rekor panas dalam beberapa tahun terakhir.
Di Jakarta, suhu maksimum harian belakangan ini bisa mencapai 36–37°C. Di Bandung, yang biasanya dingin, siang hari kini terasa sangat panas dan membuat orang enggan keluar rumah. Sementara di Surabaya, yang sejak dulu sudah terkenal panas, sekarang terasa seperti ditempatkan di bawah kaca pembesar.
Pertanyaannya sederhana, tapi penting: kenapa bisa sepanas ini?
1. Panas Ekstrem Bukan Hanya Kebetulan
Menurut data BMKG, Indonesia saat ini sedang memasuki musim kemarau puncak. Di musim ini, hujan minim, langit cerah, dan sinar matahari langsung mengenai tanah tanpa hambatan banyak dari awan. Situasi ini diperparah oleh dampak El Niño yang lemah, membuat wilayah tengah dan selatan Indonesia lebih kering dari biasanya. Kombinasi ini sudah cukup membuat suhu siang hari naik tinggi. Tapi bukan hanya itu. Dalam 40 tahun terakhir, suhu rata-rata di Indonesia meningkat sekitar 0,3–0,4°C. Perubahan ini mungkin terdengar kecil, tapi dampaknya nyata. Bayangkan kamu duduk di ruangan 25°C, dan setiap tahun suhu dinaikkan setengah derajat. Dalam 20 tahun, kamu akan berada di ruangan 35°C—terasa panas, keringetan, dan tidak nyaman. Itulah yang terjadi di Bumi kita. Pemanasan global membuat atmosfer menyimpan lebih banyak panas. Akibatnya, saat musim kemarau tiba, suhu udara bisa mencapai tingkat lebih tinggi dari kondisi “normal” beberapa dekade lalu. Panas ekstrem yang kita rasakan sekarang adalah bukti nyata dari krisis iklim global.

Pedestrians cross the street on Oct. 9, 2023,near the Bundaran HI traffic circle in Jakarta. PHOTO: THE JAKARTA POST
2. Kota-Kota Besar Seperti “Kompor” Tambahan
Bagi warga kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, panas ekstrem terasa lebih berat karena fenomena urban heat island atau “pulau panas perkotaan”. Fenomena ini terjadi karena banyaknya permukaan beton dan aspal, minimnya pepohonan, dan padatnya bangunan serta kendaraan. Semua itu menyerap panas matahari siang hari, lalu melepaskan panas perlahan di malam hari. Akibatnya, suhu di pusat kota bisa 2–4°C lebih tinggi dibanding area sekitarnya. Itulah sebabnya meski BMKG mencatat suhu udara maksimum “resmi” misalnya 35°C, di jalan raya yang ramai dengan kendaraan, suhu permukaan bisa mencapai 40°C atau lebih.Jadi, wajar kalau kamu merasa siang hari di Jakarta seperti berdiri di depan hair dryer raksasa. Bahkan di malam hari, udara tetap terasa gerah karena panas yang diserap aspal dan beton sepanjang hari belum sepenuhnya dilepaskan. Kota seperti Surabaya bahkan sering mencatat suhu malam di atas 30°C, membuat tidur pun terasa tidak nyaman.
3. Dampaknya Lebih Parah dari Sekadar Panas
Cuaca panas yang terlalu tinggi tidak hanya membuat kita merasa tidak nyaman.
Dampaknya bisa sangat besar:
• Kesehatan: Risiko kekurangan air, lelah, hingga kepanasan parah meningkat.
Hal ini terutama terjadi pada anak-anak, orang tua, serta pekerja di luar ruangan. Orang yang tinggal di rumah tanpa ventilasi atau AC juga bisa terkena dampaknya.
• Energi: Penggunaan listrik meningkat tajam karena banyak orang menggunakan AC dan kipas angin.
Hal ini bisa mengganggu sistem listrik kota dan berpotensi menyebabkan pemadaman jika tidak diatur dengan baik.
• Qualitas Udara: Suhu tinggi memperburuk kualitas udara.
Polutan tetap bertahan lebih lama, dan reaksi kimia di udara menghasilkan ozon yang berbahaya untuk pernapasan.
• Pertanian dan air: Di sekitar kota, panas ekstrem mengakibatkan penguapan air cepat dan memperparah kekeringan.
Ini bisa memengaruhi pasokan air dan produksi pertanian.
• Produktivitas: Suhu tinggi bisa mengurangi fokus dan efisiensi kerja, terutama bagi pekerja yang bekerja di bawah terik matahari.

Keeping cool: A student uses a portable fan outside the classroom at an elementary school in Banda Aceh, Aceh, on May 7. (AFP/Chaideer Mahyuddin)
4. Kita Bisa Beradaptasi dan Ikut Berperan
Meskipun pemanasan global terasa seperti masalah besar yang jauh dari jangkauan individu, nyatanya kita semua bisa mengambil peran untuk mengurangi dampaknya.
Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan masyarakat kota besar:
• Minum air secara cukup dan hindari aktivitas berat saat siang hari.
• Menggunakan pakaian yang longgar dan berwarna terang agar benda panas tidak mudah menyerap ke tubuh.
• Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi bila bisa, misalnya dengan menggunakan transportasi umum atau carpool.
Ini membantu mengurangi polusi dan panas yang berasal dari mesin kendaraan.
• Menanam pohon atau merawat tanaman di sekitar rumah atau kantor.
Pohon bisa menurunkan suhu lingkungan secara alami hingga beberapa derajat.
• Menggunakan tirai, ventilasi alami, atau atap yang mencerminkan sinar matahari untuk mengurangi panas yang masuk ke dalam rumah.
• Melibatkan diri dalam kegiatan lingkungan seperti menghijaukan kota, hemat energi, dan mengurangi sampah.
Adaptasi ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga tentang bagaimana kota bisa lebih tahan terhadap panas ekstrem yang akan semakin sering terjadi di masa depan.
5. Ini Masih Awal — Saatnya Kita Sadar
BMKG memperkirakan bahwa kejadian cuaca panas ekstrem di Indonesia akan lebih sering dan lebih parah jika tren pemanasan global terus berlangsung. Kota-kota besar akan menjadi tempat yang paling menerima dampaknya karena populasi yang padat dan sedikitnya ruang hijau.
Pemanasan global bukan lagi isu yang jauh di Kutub Utara atau hutan Amazon. Ia sekarang ada di sekitar kita: di jalan Sudirman, alun-alun Bandung, dan pusat kota Surabaya. Ini bukan fenomena singkat yang bisa kita abaikan. Jika saat ini kita hanya mengeluh karena panas terlalu tinggi, bayangkan bagaimana kondisi 10 hingga 20 tahun ke depan jika kita tidak melakukan perubahan. Langkah kecil dari warga kota — mulai dari menghemat energi hingga menanam pohon — bisa jadi kontribusi besar untuk memperlambat laju pemanasan.

A Jakarta resident uses an umbrella during scorching weather on Oct. 15 at the Hotel Indonesia traffic circle. (Antara/Sulthony Hasanuddin)
Penutup
Jadi, lain kali saat kamu merasa siang di Jakarta bikin kulit terbakar, atau Bandung tak lagi sejuk seperti dulu, ingatlah: ini bukan cuaca “nakal”. Ini peringatan. Panas ekstrem yang kita rasakan hari ini adalah sinyal bahwa iklim kita sedang berubah. Melawan panas ekstrem tidak cukup dengan kipas angin atau AC. Kita perlu kesadaran bersama, aksi kecil yang konsisten, dan dukungan kebijakan publik yang kuat. Karena masa depan kota-kota besar Indonesia akan sangat bergantung pada bagaimana kita merespon panas hari ini.
Next News

Kesempatan Emas di Depan Mata! PLN Buka Rekrutmen Besar-besaran, Saatnya Jadi Bagian dari Jantung Energi Indonesia!
2 months ago

2 Oktober: Dari Batik Nasional hingga Hari Tanpa Kekerasan Dunia
2 months ago

Kopi Nusantara dan Identitas Budaya Indonesia di Hari Kopi Internasional
2 months ago

Cuaca, Kesehatan, dan Gaya Hidup di Musim Kemarau & Peralihan Musim di Indonesia
3 months ago

Lincahnya Tupai Merah: Mengenal Fakta di Balik Gerakannya
3 months ago

Siap-siap! Ini Alasan Kemarau di Indonesia Dingin
3 months ago

Bukan Disney: Pacific Park, Surga Instagram di California!
3 months ago

Katmai National Park: Jantung Kehidupan Grizzly
3 months ago

Saatnya Gaspol Akhir Pekan di Bandung: Ini Dia Rekomendasi Anti-Nyeselnya!
3 months ago

Petualangan Rasa Kopi Indonesia: Pahit, Manis, Nagih!
3 months ago




