Education

Teori Evolusi: Mengapa Darwin Masih Relevan Kini?

Fajar - Monday, 24 November 2025 | 02:30 PM

Background
Teori Evolusi: Mengapa Darwin Masih Relevan Kini?

Gudnus - Siapa sih yang nggak kenal nama Charles Darwin? Jujur aja, kalau kita dengar kata "evolusi", otomatis nama bapak satu ini yang melintas di kepala. Teorinya tentang evolusi melalui seleksi alam itu lho, yang sampai sekarang masih jadi bahan obrolan, perdebatan, sekaligus fondasi utama biologi modern. Tapi, pernah kepikiran nggak sih, gimana ceritanya teori sepenting itu bisa lahir? Atau, sebenarnya Darwin itu orangnya kayak gimana sih? Jangan-jangan cuma Bapak-bapak serius yang kerjaannya cuma mikir doang? Eits, jauh dari itu!

Kisah Darwin dan teorinya itu lebih dari sekadar deretan fakta ilmiah. Ini adalah cerita tentang seorang penjelajah yang penasaran, seorang pengamat ulung, dan seseorang yang berani menantang pemahaman konvensional di zamannya. Mari kita bedah bareng-bareng perjalanan epik ini, dari awal mula Darwin kecil yang agak beda sampai teorinya yang bikin dunia auto-nggak nyambung sama pandangan lama.

Awal Mula: Bocah Penjelajah yang Resah dan Kapal Legendaris

Charles Robert Darwin lahir pada tahun 1809 di Shrewsbury, Inggris, dari keluarga yang terpandang dan cukup berada. Kakeknya, Erasmus Darwin, juga seorang ilmuwan dan pemikir di zamannya, jadi kayaknya gen-gen "kepenasaran" itu udah ngalir di darah keluarga. Tapi, jangan bayangkan Darwin kecil adalah anak kutu buku yang dari dulu udah ngomongin seleksi alam. Enggak juga!

Awalnya, ayahnya, seorang dokter sukses, ingin Darwin mengikuti jejaknya. Makanya, ia disekolahkan di Edinburgh untuk belajar kedokteran. Tapi, ternyata dunia medis itu nggak banget buat Darwin. Ia mengaku nggak kuat melihat operasi tanpa anestesi yang brutal di zaman itu, dan kuliahnya pun nggak terlalu serius. Setelah itu, ia sempat pindah ke Cambridge untuk belajar teologi, niatnya sih mau jadi pendeta. Lah, kok bisa? Ya, namanya juga cari jati diri, kan? Tapi lagi-lagi, minatnya lebih ke alam liar, mengumpulkan serangga, berburu, dan mengamati flora-fauna di sekitarnya. Ini nih bibit-bibit naturalisnya mulai tumbuh.

Nah, momen yang mengubah segalanya adalah ketika ia mendapat tawaran emas: menjadi naturalis tanpa bayaran di kapal survei HMS Beagle. Ini adalah undangan yang nggak bisa ditolak, semacam tiket VIP keliling dunia. Meskipun ayahnya sempat menentang keras, pamannya yang bijaksana, Josiah Wedgwood, berhasil meyakinkan. Akhirnya, pada usia 22 tahun, Darwin muda memulai petualangan yang bakal mengubah sejarah sains. Lima tahun lho, bukan perjalanan biasa yang cuma seminggu dua minggu!

Galapagos: "Eureka!" yang Butuh Waktu Lama

Selama lima tahun di atas HMS Beagle (1831-1836), Darwin keliling dunia, mulai dari pesisir Amerika Selatan, Tahiti, Australia, sampai Afrika. Ia mencatat segala sesuatu yang ia lihat: fosil-fosil raksasa yang mirip hewan modern, keanekaragaman hayati di hutan hujan, dan formasi geologi yang aneh. Semua itu ia tuangkan dalam catatan yang super detail, bahkan sampai berkardus-kardus.

Tapi, kalau kita bicara momen "aha!" Darwin, pasti langsung kepikiran Kepulauan Galapagos. Kepulauan terpencil di Samudra Pasifik ini memang jadi semacam laboratorium alami yang nggak kaleng-kaleng. Di sana, Darwin terkesima dengan keunikan satwanya: kura-kura raksasa yang cangkangnya beda-beda di tiap pulau, iguana laut yang berenang di lautan, dan yang paling terkenal, burung-burung finch. Ia menemukan bahwa burung finch di tiap pulau punya bentuk paruh yang berbeda-beda, disesuaikan dengan jenis makanan yang tersedia di pulau tersebut. Ada yang paruhnya tebal buat mecahin biji-bijian keras, ada yang tipis buat ngambil serangga, dan seterusnya.

Awalnya, Darwin berpikir burung-burung itu beda spesies. Tapi, setelah dipelajari lebih lanjut, ia mulai curiga: jangan-jangan mereka semua berasal dari nenek moyang yang sama, lalu berevolusi dan beradaptasi dengan lingkungan masing-masing? Ini bukan "Eureka!" yang instan kayak di film-film ya. Ini adalah pemikiran yang butuh bertahun-tahun untuk matang. Bayangkan, dia baru benar-benar merangkai semua kepingan puzzle itu bertahun-tahun setelah pulang dari pelayaran. Selama itu, ia terus mengamati, mengumpulkan data, dan membaca buku-buku lain, termasuk esai Thomas Malthus tentang populasi yang memicu idenya tentang "perjuangan untuk bertahan hidup".

Lahirnya "On The Origin of Species": Bom Waktu yang Meledak Pelan

Meskipun ide tentang seleksi alam itu sudah mulai terbentuk di kepalanya sejak tahun 1838, Darwin butuh waktu lebih dari 20 tahun untuk akhirnya menerbitkan bukunya yang legendaris. Kenapa lama banget? Pertama, ia sangat metodis. Ia ingin semua datanya sempurna, semua argumennya tak terbantahkan. Kedua, ia tahu betul bahwa teorinya ini akan sangat kontroversial, terutama karena menantang pandangan keagamaan yang dominan saat itu bahwa setiap spesies diciptakan secara terpisah dan tidak berubah. Ia khawatir akan reaksi publik dan gereja.

Tekanan untuk menerbitkan datang dari seorang naturalis muda bernama Alfred Russel Wallace. Pada tahun 1858, saat Darwin masih asyik dengan tumpukan catatannya, Wallace mengirimkan esai kepadanya dari Malaysia. Isinya? Ide tentang seleksi alam yang SANGAT mirip dengan apa yang sudah Darwin pikirkan! Mampus, pikir Darwin. Kalau nggak cepat-cepat, Wallace bisa duluan!

Maka, didorong oleh "ancaman" dari Wallace dan desakan teman-temannya, Darwin akhirnya mempercepat pekerjaannya. Pada tahun 1859, lahirlah mahakarya yang mengubah dunia: "On The Origin of Species by Means of Natural Selection, or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life" (singkatnya, "On The Origin of Species").

Inti dari buku ini sederhana tapi mind-blowing: semua kehidupan di Bumi memiliki nenek moyang yang sama. Spesies-spesies baru muncul dan berubah seiring waktu melalui proses yang disebut seleksi alam. Artinya, individu-individu dengan ciri-ciri yang lebih adaptif terhadap lingkungannya cenderung bertahan hidup lebih lama dan memiliki lebih banyak keturunan. Keturunan ini mewarisi ciri-ciri adaptif tersebut, dan seiring waktu, ciri-ciri itu menjadi dominan dalam populasi, bahkan bisa menciptakan spesies baru. Ini bukan soal yang paling kuat dalam artian fisik, tapi yang paling pas dan adaptif.

Revolusi Pemikiran yang Tak Henti-Henti (dan Masih Sering Disalah pahami)

Begitu "On The Origin of Species" terbit, dunia pun geger. Penjualannya laris manis, stok langsung habis di hari pertama! Para ilmuwan terbelah. Ada yang langsung mendukung dan melihat kejeniusan di balik teori itu, ada pula yang menentang habis-habisan, terutama dari kalangan agamawan yang merasa teori ini bertentangan dengan dogma penciptaan. Perdebatan sengit pun tak terhindarkan. Pertemuan-pertemuan ilmiah seringkali berubah jadi ajang adu argumen yang panas.

Teori Darwin bukan tanpa kekurangan saat itu. Salah satu pertanyaan besar adalah: bagaimana sifat-sifat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Darwin sendiri nggak punya jawaban pasti tentang mekanisme pewarisan genetik. Nah, di sinilah ilmuwan-ilmuwan setelah Darwin mengisi kekosongan itu. Penemuan Gregor Mendel tentang genetika (yang sebenarnya sezaman dengan Darwin tapi karyanya belum dikenal luas) dan perkembangan biologi molekuler di abad ke-20 melengkapi teori Darwin, melahirkan apa yang kita sebut "Sintesis Modern" dalam biologi evolusioner.

Sayangnya, sampai sekarang, teori evolusi masih sering disalahpahami. Salah satu mitos paling umum adalah "manusia berasal dari monyet". Padahal, teori evolusi bilang kita dan monyet modern (simpanse, gorilla) punya nenek moyang yang sama, bukan manusia langsung berubah dari monyet yang ada sekarang. Lalu, ada juga yang berpikir evolusi itu artinya "makhluk jadi makin sempurna", padahal evolusi itu tentang adaptasi terhadap lingkungan, bukan mencapai kesempurnaan. Lingkungan berubah, maka adaptasi pun berubah.

Terlepas dari segala perdebatan dan kesalahpahaman, warisan Charles Darwin tak terbantahkan. Teorinya bukan cuma sekadar hipotesis, tapi telah menjadi salah satu teori ilmiah yang paling kokoh dan teruji. Ini adalah kerangka kerja yang menjelaskan keanekaragaman hayati yang menakjubkan di planet ini, menghubungkan kita semua dalam satu pohon kehidupan yang raksasa. Dari cangkang kura-kura di Galapagos sampai DNA di dalam sel kita, semuanya bercerita tentang evolusi. Jadi, kalau kamu melihat kupu-kupu dengan sayap indah atau terumbu karang penuh warna, ingatlah, itu semua adalah mahakarya dari seleksi alam, sang seniman yang karyanya nggak pernah habis.