Lifestyle

Rahasia Gelap di Balik Diskon Fashion Favoritmu

Fajar - Wednesday, 26 November 2025 | 06:00 PM

Background
Rahasia Gelap di Balik Diskon Fashion Favoritmu
Limbah pakaian yang menumpuk (Unsplash/)

Gudnus - Coba deh jujur, siapa di sini yang nggak pernah 'kalap' pas lihat diskon gede-gedean di e-commerce favorit? Atau mendadak merasa 'kudet' kalau nggak punya baju model terbaru yang lagi hits di TikTok? Ya, kita semua pasti pernah merasakan euforia itu. Sensasi membeli baju baru dengan harga miring memang bikin hati senang, dompet nggak terlalu menjerit, dan instan bikin kita merasa 'on point'. Tapi, pernah nggak sih kita berhenti sejenak dan mikir, di balik 'kebahagiaan' instan itu, ada harga yang jauh lebih mahal yang harus dibayar?

Harga itu bukan cuma soal angka di struk belanjaan, lho. Ada bumi yang tercekik dan ada ribuan pasang tangan pekerja yang merana di balik gemerlap dunia fast fashion. Ini bukan cerita horor, tapi realita yang sering kita abaiin. Jadi, mari kita kulik bareng-bareng, seberapa parah sih dampak fenomena "beli sekarang, buang besok" ini?

Bumi Kita Tersedak Tumpukan Pakaian Bekas

Dulu, baju itu barang berharga. Dipakai sampai usang, ditambal kalau robek, atau diwariskan ke adik. Sekarang? Baju udah jadi barang sekali pakai. Bayangkan, ada sekitar 100 miliar potong pakaian yang diproduksi tiap tahun di seluruh dunia. Angka ini gila banget, kan? Dan mirisnya, sebagian besar dari pakaian itu berakhir di tempat sampah dalam waktu singkat.

Coba deh bayangkan lagi: gunung sampah. Bukan sampah plastik atau sisa makanan, tapi gunung sampah pakaian. Di beberapa negara berkembang, penampungan sampah udah nggak muat lagi menampung tumpukan baju bekas yang datang dari berbagai penjuru dunia. Baju-baju yang baru dipakai beberapa kali, bahkan ada yang masih berlabel, numpuk jadi bukit-bukit kain yang bikin miris.

Selain jadi "penghasil" sampah kelas kakap, industri fast fashion ini juga haus sumber daya alam. Kapas, misalnya. Untuk bikin satu kaus katun aja, butuh ribuan liter air. Itu belum lagi pestisida dan pupuk kimia yang dipake buat nanamnya, yang ujung-ujungnya merusak tanah dan mencemari air. Kalau bahan sintetis kayak poliester, ceritanya beda lagi. Dia terbuat dari plastik, alias turunan minyak bumi. Jadi, makin banyak poliester, makin banyak juga minyak bumi yang dikeruk, dan otomatis jejak karbonnya juga makin tebal.

Belum selesai di situ. Proses pewarnaan kain juga nggak kalah brutal. Pabrik-pabrik tekstil seringkali membuang limbah cair yang mengandung bahan kimia berbahaya langsung ke sungai. Akibatnya? Ekosistem air rusak, ikan-ikan mati, dan masyarakat sekitar yang bergantung pada air sungai itu jadi kena imbasnya. Nggak heran kalau di beberapa daerah, sungai-sungai berubah warna jadi biru, merah, atau ungu pekat, sesuai warna tren fashion musim itu. Ironis, ya?

Dan yang paling bikin pusing kepala, microplastic. Tiap kali kita nyuci baju berbahan sintetis, serat-serat kecil dari kain itu lepas dan ikut ke saluran air, lalu berakhir di laut. Microplastic ini kemudian dimakan sama biota laut, masuk ke rantai makanan, dan ujung-ujungnya bisa nyampe ke piring kita. Jadi, baju murah yang kita beli itu mungkin banget balik lagi ke kita dalam bentuk yang mengerikan.

Pekerja Industri: Tulang Punggung yang Terabaikan

Selain bikin bumi sesak napas, fast fashion juga menyisakan luka mendalam bagi para pekerja di baliknya. Di pabrik-pabrik garmen di berbagai negara, terutama di Asia, cerita pahit para pekerja ini seolah jadi rahasia umum. Mereka adalah para penjahit, pemotong kain, dan semua tangan-tangan terampil yang bekerja keras demi memenuhi permintaan pasar yang nggak ada habisnya.

Bayangkan, mereka harus bekerja berjam-jam, kadang lebih dari 12 jam sehari, dengan upah yang sangat minim. Upah yang seringkali nggak cukup buat memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri, apalagi keluarga. Kondisi kerja juga jauh dari kata layak. Pabrik-pabrik yang sumpek, ventilasi buruk, bising, dan minimnya standar keamanan adalah pemandangan umum. Slogan "cepat dan murah" dari brand fast fashion itu seringkali diterjemahkan jadi "eksploitasi pekerja" di lapangan.

Kasus-kasus tragis seperti runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh pada tahun 2013, yang menewaskan lebih dari seribu pekerja, adalah bukti nyata betapa berbahayanya industri ini. Bangunan yang rapuh, paksaan untuk tetap bekerja meskipun ada retakan di dinding, semua demi mengejar target produksi. Dan yang bikin miris, banyak dari para pekerja itu adalah perempuan, tulang punggung keluarga, yang terpaksa mengambil risiko demi sesuap nasi.

Mereka nggak punya banyak pilihan. Ancaman PHK kalau menuntut hak, nggak ada serikat pekerja yang kuat, dan tekanan dari tenggat waktu produksi yang ketat bikin mereka terjebak dalam lingkaran setan ini. Kita mungkin nggak pernah lihat wajah mereka, tapi keringat dan air mata merekalah yang ada di balik setiap jahitan, setiap kancing, dan setiap label baju yang kita beli dengan harga miring.

Jadi, Kita Harus Gimana Dong?

Setelah tahu semua dampak mengerikan ini, bukan berarti kita harus jadi anti-fashion atau pakai baju itu-itu aja sampai kusam, kok. Tapi, ini adalah saatnya kita lebih bijak dan mulai mengubah kebiasaan. Kita bisa jadi bagian dari solusi, bukan malah memperparah masalah.

Pertama, coba deh pikir dua kali sebelum klik 'checkout' atau bayar di kasir. Beneran butuh nggak sih baju baru itu? Atau cuma karena lagi diskon dan ngikutin tren sesaat? Kalau emang butuh, coba cari alternatif yang lebih ramah lingkungan dan etis. Ada banyak kok brand lokal yang fokus sama keberlanjutan dan memberdayakan pekerja lokal.

Kedua, budayakan pakai ulang dan beli baju bekas (thrift shopping). Ini bukan lagi stigma "nggak punya uang", tapi gaya hidup yang keren dan bertanggung jawab. Kamu bisa nemuin harta karun yang unik dan berkualitas dengan harga miring, sekaligus mengurangi limbah tekstil. Atau, kalau baju udah nggak muat atau bosan, jangan langsung dibuang. Sumbangin, barter, atau coba deh daur ulang jadi barang lain yang lebih bermanfaat.

Ketiga, rawat pakaianmu baik-baik biar awet. Belajar sedikit menjahit kalau ada kancing copot atau robek sedikit. Dengan merawat pakaian, kita memperpanjang masa pakainya dan mengurangi frekuensi pembelian baju baru. Ini juga hemat biaya, lho.

Memang, nggak mudah mengubah kebiasaan yang udah mendarah daging. Tapi, satu langkah kecil dari kita semua bisa jadi gelombang perubahan besar. Bayangkan, kalau kita semua lebih sadar, memilih dengan cermat, dan nggak lagi tergiur sama rayuan diskon semata, industri fast fashion pasti akan berpikir ulang. Kita punya kekuatan sebagai konsumen. Mari kita gunakan kekuatan itu untuk bumi yang lebih sehat dan kehidupan pekerja yang lebih manusiawi. Kan sayang banget kalau cuma demi gaya sesaat, kita mengorbankan masa depan.