Lifestyle

Pola Pikir Purba: Mengapa Kita Bertingkah Aneh?

Fajar - Monday, 24 November 2025 | 07:00 PM

Background
Pola Pikir Purba: Mengapa Kita Bertingkah Aneh?

Gudnus - Pernah nggak sih kamu mikir, kok kelakuan manusia modern ini kadang nyeleneh banget ya? Padahal sudah hidup di era serbacanggih, serbainstan, tapi tingkah laku kita kok gitu-gitu aja? Misalnya, kenapa kita gampang banget terpancing emosi kalau ada yang beda pendapat di media sosial? Atau, kenapa kok rasanya susah banget menolak gorengan dan manis-manisan, padahal tahu itu nggak sehat? Nah, kalau pertanyaan-pertanyaan ini pernah bikin kamu geleng-geleng kepala, mungkin saatnya kita ngintip sedikit ke dalam laci pikiran kita yang paling purba.

Eits, jangan buru-buru nge-judge diri sendiri atau orang lain sebagai manusia "primitif", ya. Justru di sinilah Psikologi Evolusi datang sebagai detektif ulung yang punya banyak petunjuk. Ilmu ini mencoba menjelaskan kenapa kita punya pola pikir dan perilaku tertentu dengan melihat jauh ke belakang, ke zaman nenek moyang kita berjuang bertahan hidup di sabana Afrika sana. Intinya, banyak banget "program bawaan" dari jutaan tahun lalu yang masih aktif di otak kita, meski sekarang kita hidup di tengah gedung pencakar langit dan koneksi internet super ngebut.

Otak Kita: OS Windows 95 di Era Aplikasi AI

Gampangnya gini deh. Otak kita ini, ibaratnya, masih pakai OS Windows 95, tapi disuruh ngejalanin aplikasi yang butuh spek PC gaming terbaru. Ya kaget dong! Desain dasar otak kita itu masih optimal untuk bertahan hidup di lingkungan yang penuh bahaya fisik, kelangkaan sumber daya, dan tekanan sosial yang berbeda jauh dengan zaman sekarang. Sistem operasional purba ini jago banget dalam hal mendeteksi ancaman, mencari makanan, mencari pasangan, dan membentuk kelompok untuk keamanan. Masalahnya, "ancaman" dan "sumber daya" di era modern bentuknya sudah beda jauh.

Ambil contoh paling dekat, soal cinta dan kencan. Kenapa sih kita kok sering banget punya "tipe" tertentu? Atau, kenapa rasa cemburu itu kayaknya sulit banget dihindari, bahkan kadang bikin drama? Nah, Psikologi Evolusi bilang, ini semua nggak lepas dari mekanisme seleksi pasangan yang sudah tertanam jutaan tahun. Nenek moyang kita memilih pasangan bukan cuma karena paras, tapi juga sinyal-sinyal kesehatan, kesuburan, atau kemampuan untuk menjadi penyedia yang baik. Sinyal-sinyal ini kemudian termodifikasi di era modern menjadi keinginan akan status, sumber daya, atau bahkan sekadar "vibe" yang klop. Cemburu? Itu adalah alarm purba yang tujuannya menjaga investasi genetik kita. Kalau dulu biar nggak ada serigala yang ngegondol mangsa kita, sekarang biar nggak ada orang ketiga yang nyerobot pasangan kita. Bikin geleng-geleng kepala, kan?

Doyan Flexing dan Kehausan Status: Insting Purba yang Berujung Konsumtif

Sekarang coba deh lihat fenomena "flexing" atau pamer di media sosial. Orang berlomba-lomba menunjukkan barang mewah, liburan eksotis, atau pencapaian keren. Kenapa ya rasanya ada kepuasan batin kalau dapat banyak like atau komentar pujian? Psikologi Evolusi punya jawabannya: ini adalah bentuk modern dari pencarian status sosial. Dulu, semakin tinggi status seseorang di kelompok, semakin besar aksesnya ke sumber daya, makanan, dan peluang reproduksi. Pamer bulu merak (atau mobil sport dan tas branded) adalah cara purba untuk sinyal "Aku jago nih, layak dihormati!"

Meskipun sekarang kita nggak perlu lagi berburu mamut atau takut kelaparan setiap hari, insting untuk diakui dan menempati hierarki sosial yang tinggi itu masih nyala terang benderang. Jadilah kita kadang-kadang impulsif membeli barang yang sebenarnya nggak terlalu butuh, cuma demi "apa kata orang" atau biar nggak kalah keren dari tetangga. Ujung-ujungnya, dompet tipis, tapi hati senang sesaat karena merasa "setara" atau "lebih" dari orang lain. Ironisnya, di zaman yang serba individual ini, dorongan untuk diakui oleh komunitas tetap sekuat dulu.

Fobia Aneh dan Kenapa Kita Susah Diet

Pernah takut ular atau laba-laba banget, padahal kamu tinggal di apartemen lantai 20 dan belum pernah lihat langsung? Atau kenapa kita cenderung lebih takut naik pesawat daripada naik motor, padahal secara statistik naik motor jauh lebih berbahaya? Ini juga warisan dari zaman batu, bro! Otak kita sudah terprogram untuk waspada terhadap ancaman yang relevan di lingkungan purba: ular beracun, laba-laba mematikan, atau ketinggian yang bisa bikin jatuh. Ancaman-ancaman ini punya "tombol darurat" tersendiri di otak kita, bikin respons takutnya auto ngegas.

Dan jangan lupakan soal makanan. Kenapa sih gorengan, cokelat, atau makanan manis itu rasanya candu banget dan susah banget ditolak? Ini karena di zaman purba, makanan dengan kalori tinggi (lemak, gula) itu langka dan sangat berharga untuk energi dan bertahan hidup. Tubuh kita berevolusi untuk memaksimalkan asupan makanan berkalori tinggi kapan pun ada kesempatan. Jadi, setiap kali ada donat di depan mata, otak purba kita langsung teriak, "Sikat! Kapan lagi ada gizi sebanyak ini!" Padahal sekarang, makanan berkalori tinggi justru melimpah ruah dan malah jadi sumber masalah kesehatan. Jadi, susah diet itu bukan semata-mata kamu nggak niat, tapi karena kamu melawan jutaan tahun evolusi!

Naluri Berkelompok di Era Sendiri-sendiri

Satu lagi yang menarik adalah naluri berkelompok. Manusia adalah makhluk sosial. Di zaman purba, keluar dari kelompok sama saja dengan bunuh diri. Makanya, kita sangat peka terhadap dinamika sosial, gampang ikut-ikutan tren, dan kadang "auto" membela kelompok kita sendiri, bahkan kalau kelompok itu cuma grup K-Pop atau tim sepak bola favorit. Ini adalah sisa-sisa mekanisme purba untuk memastikan kita diterima dan dilindungi oleh suku kita.

Di era media sosial, naluri ini kadang jadi bumerang. Kita bisa dengan mudah terjebak dalam echo chamber, hanya mau mendengar suara yang sama dengan kita, dan gampang banget termakan hoaks kalau itu memperkuat keyakinan kelompok kita. Konflik dan polarisasi yang sering terjadi di dunia maya itu, kalau ditelisik lebih dalam, juga punya akar di kebutuhan purba untuk mengidentifikasi "kita" versus "mereka". Ini adalah sisi gelap dari naluri yang dulu sangat vital untuk kelangsungan hidup.

Memahami Diri, Memahami Dunia

Mungkin setelah tahu ini, kita jadi lebih maklum sama diri sendiri dan orang lain. Tingkah laku kita yang kadang irasional, impulsif, atau bahkan lucu itu, ternyata bukan semata-mata karena kita bodoh atau nggak modern. Ada "hantu" evolusi yang terus membayangi dan memengaruhi setiap keputusan dan reaksi kita. Otak kita memang dirancang untuk dunia yang sudah tidak ada, tapi kita harus hidup di dunia yang serba baru. Inilah tantangan sekaligus keunikan manusia modern.

Dengan memahami sedikit tentang Psikologi Evolusi, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi dorongan-dorongan purba itu. Bukan berarti kita harus pasrah begitu saja. Justru dengan tahu "kenapa", kita punya kekuatan untuk memilih "bagaimana". Bagaimana cara kita mengelola emosi cemburu, bagaimana kita menanggapi godaan konsumerisme, atau bagaimana kita bisa tetap kritis di tengah desakan kelompok. Jadi, kalau lain kali kamu merasa aneh dengan kelakuanmu sendiri atau orang lain, ingat saja, mungkin itu cuma suara nenek moyang di kepala kita yang lagi curhat.